Seteguk Cao Pegagan, Sebelum Tiba Ramadan
Sabtu, Mei 04, 2019
Jalan Malioboro masih memiliki banyak tamu. Pengunjung
tiada jemu mbanyu mili seolah tak ada
rasa bosannya jika sudah dijamu segenap suasana Jogja. Aku termasuk di antara “tamu”
itu.
Meski mengaku sebagai penyuka ruang sepi, tapi hari
itu aku sengaja masuk ke dalam hiruk pikuk Malioboro di musim liburan. Apa yang
tengah aku cari?
Bukan rayuan papan diskon besar-besaran, bukan pula
niat menyesap kepulan asap dari bis-bis panjang yang antre di sepanjang jalan. Sebagai
“tamu” penyusup di sini, sesungguhnya aku sedang bersama orang-orang yang
merasa Jogja sedang panas dan sumuk-sumuknya.
Rasanya hanya ingin mencari dingin-dingin yang bisa meluruhkan segenap gerah
atas perasaan yang sempat dibuat luluh-lantah oleh deadline.
Biasanya andalan akhirku adalah mengajak suami
membeli es krim di salah satu gerai dekat Mall Malioboro. Jika sedang mau sok romantis
sih seringnya satu cup berdua,
padahal alasan karena tanggal tua.
Menunggunya menyesap es krim sambil mengirim tatap penuh kode, berharap
lekas cepat tiba giliranku adalah salah satu hal yang menyenangkan. Receh sekali
memang, tapi mungkin itu salah satu alasanku nekat menyusuri perdestrian
Malioboro siang-siang menantang panas. Sebagai kaum pecinta es, semua akan kutempuh, apalagi insyaallah dua hari lagi Ramadan. Hari ini aku akan sedikit memuaskan hasrat membeli es siang-siang.
Papan petunjuk Gelar Produk Makanan dan Minuman Istimewa di gerbang putih Kantor Eks Dinas Pariwisata DIY |
Hampir seperempat jalan lagi sampai tujuan, fokusku
mulai bercabang teralihkan oleh suatu papan tulisan. Sebuah rayuan, yang secara
halus membuat langkah kaki berbelok masuk ke dalam sebuah gerbang putih Halaman Kantor Eks Dinas
Pariwisata DIY.
“Oh baru ada semacam pameran.” Eh, lebih tepatnya gelar produk makanan dan minuman.
Semacam ada embus angin lembah yang menyapu peluh. Tidak
harus kuselesaikan perjalanan menuju peluruh gerah yang tengah dicari di sekitar Mall Malioboro. Sepertinya
di sini pun aku akan bertemu dengan banyak pilihan dingin-dingin menyegarkan
itu.
Mata kembali sibuk memilah. Ada berbagai gerai
makanan dan minuman yang membuat bimbang menuju. Mulai dari berbagai jenis
keripik, salad buah, bakpia, cokelat, geblek khas Kulon Progo, jamu, juga
berbagai jenis minumannya.
Ingin ke sana,
tapi kok ingin juga nyicip yang itu. Ya semacam memiliki hasrat merasakan satu per satu
namun keterbatasan ruang lambung yang sempit ini.
Makanan trade mark-nya Jogja juga ada, si bakpia tersedia juga yang premium |
Geblek khas Kulon Progo dengan aneka rasa |
Ada suatu makanan yang akan tetap aku makan meski
dalam keadaan kenyang. Ia adalah cokelat. Pertama kali masuk halaman langsung bertemu dengan
cokelat berbagai varian rasa. Naluriku hanya ingin mengajak banyak teman
untuk membeli berbeda-beda rasa, kemudian saling icip-icip biar tidak penasaran
lagi seperti apa masing-masing rasanya.
Setelah saya tengok-tengok, tidak ada teman yang bisa
diharap-harap untuk berbagi rasa cokelat. Maka berbekal cap-cip-cup, aku putuskan memilih Cokelat Putih Pegagan sebagai
cemilan pembuka produksi dari Pawon Gendis, Kalibawang, Kulon Progo.
Cokelat Pawon Gendhis, Kulon Progo dan aneka rasanya |
Cokelat Pawon Gendhis, Kulon Progo dan aneka rasanya |
Selama piknik-piknik tipis di Kulon Progo, aku kerap
melihat pemandangan pohon cokelat berbuah lebat di sepanjang perjalanan. Kini aku
berhasil menyicip rasanya. Kolaborasi buah cokelat dan tanaman pegagan itu
begini to rasanya?
Jujur saja di beberapa kesempatan aku sudah acap
merasakan cokelat dengan berbagai varian rasa. Cokelat rasa cengkeh, jahe,
sereh, ronde, mint sampai cabai. Tapi kolaborasi cokelat dengan pegagan ini
cukup menarik perhatian.
Padahal beberapa waktu lalu, aku tengah mencari
tanaman pegagan untuk kuperbanyak di rumah, mengingat manfaatnya yang segudang.
Namun sampai kini belum berjodoh bertemu. Siapa sangka Tuhan mengirim obat
penasaran sementara. Aku dipertemukan dengan “pegagan” dalam anekarupa di acara
Gelar Produk Makanan dan Minuman Istimewa, Dinas Koperasi UKM Daerah Istimewa Yogyakarta - PLUT-KUMKM Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Masih tentang pegagan, aku menemuinya lagi dalam
bentuk Cao Pegagan. Apa itu Cao? Beberapa orang menyebutnya cincau. Ia adalah sejenis campuran
minuman yang sedikit kenyal mirip agar-agar, biasanya dibuat dari sejenis daun-daunan
khusus tanaman cincau. Sangat cocok dipadukan dengan sirup gula merah.
Glekk.. glekk..
glekk aku tak bisa menahan lebih lama lagi untuk memesan satu gelas,
segera! Pembaca masih ingat kan tujuanku menantang panas dan macet ke Malioboro
demi mencari adem-adem seger pengusir gerah? Tuhan menjawab doaku, kini aku
dipertemukan dengannya.
Bu Sita, sang peramu Cao Pegagan itu cekatan menuang
sirup gula jawa dan meraciknya hingga tersaji. Sambil mencoba
menggoyang-goyangkan gelas yang cepat menguap karena peminumnya tengah
kehausan, aku mencoba menuntaskan rasa penasarannya dengan rentetan pertanyaan.
“Bu, apa ini racikannya daun pegagan dicampur sama
agar-agar?”
“Oh enggak mbak, ini murni dari daun pegagan dan
kelor”
Rupanya daun pegagan masih dicampur daun kelor. Pantas
saja aroma daun kelornya tidak bisa dibohongi. Namun aku masih penasaran. Kok bisa
daun pegagan dan kelor bisa mengental kenyal semacam cendol atau agar-agar
begini? Sedangkan setahuku, Tanaman Cao memang ada jenisnya. Aku pun menanam di
rumah.
Ternyata Bu Sita melewati perjalanan cukup panjang
untuk menemukan formula agar daun pegagan dan kelor bisa diolah berbentuk Cao. Beliau
membaca peluang ketersediaan pegagan dan kelor di sekitar rumahnya: Hargobinangun,
Pakem, Sleman, DIY yang sangat melimpah. Semacam ingin nguri-uri kearifan lokal.
Kandungan daun kelor memiliki 7xvitamin C pada jeruk,
4xcalcium pada susu, 4xvitamin A pada
wortel, 2xprotein pada susu, dan 3x potasium pada pisang. Si daun pegagan pun
sudah menjadi rahasia umum bahwa kandungannya sebagai antiseptic, menstimulasi peredaran darah, mempercepat penyembuhan
luka, juga meningkatkan daya ingat dan kecerdasan.
Aha, tapi daun pegagan tidak bisa mempercepat menyembuhkan
luka lama karena dia, atau meningkatkan daya ingat akan mantan. Jadi tetap aman
kan buat dikonsumsi kaum-kaum galau? Malah
dianjurkan agar sehat lahir, batinnya.
Sungguh dalam hati aku berterima kasih kepada beliau
karena telah mengolah dua tanaman yang kaya manfaat ini menjadi sebuah minuman
yang menyegarkan dengan harga yang terjangkau, Rp.5.000,- satu gelasnya. Aku berharap
akan semakin banyak lagi masyarakat Indonesia yang se-kreatif beliau,
menularkan sehat dengan banyak lagamnya.
Lidahku termasuk yang bisa menerima minuman Cao Kelor-Pegagan
ini. Segarnya masih “dapet”, tekstur daunnya masih terasa. Warna hijaunya pun
masih segar hijau, tidak pucat dan tetap menarik mata. Aku juga terkesan dengan
komposisi rasa sirup gula merahnya yang tidak terlalu manis sehingga pas untuk diteguk
berulang-ulang.
Selepas menuntaskan habis satu gelas Cao
Kelor-Pegagan, mata masih terus maraton mencari segar-segar yang lain. Jamune Biyung sebagai penutup sebuah
misi. Mencoba sekali saja meneguknya dalam segelas sloki, membuatku ketagihan,
kemudian memutuskan membawa satu botolnya penuh untuk serta pulang.
Jamu dengan rasa kuat dalam sekali teguknya. Cocok dipakai
welcome drink atau untuk disimpan
dingin di dalam kulkas, dinikmati kala kegerahan dan badan butuh asupan jamu
selepas keras bekerja.
Ketidaksengajaan membelokkan kaki mampir di Pameran
Gelar Produk Makanan dan Minuman Istimewa yang berlangsung singkat, 3-4 Mei
2019 ini menjadi pengalaman yang menarik. Jika tidak mampir ke sini tadi, mungkin aku tidak memiliki pengalaman pertama kali dalam hidup menyesap racikan
Cao Kelor-Pegagan sesegar itu. Apalagi cerita dari Bu Sita sang peracik Cao Pegagan, beliau belum membuka warung kecil untuk menjual minuman itu secara tetap. Usaha minuman Cao Pegagan hanya dibuat ketika ada pesanan, atau ketika mengikuti pameran-pameran.
Pengalaman meneguk Cao Pegagan itu turut menyadarkanku bahwa masih banyak potensi sumber
daya alam di sekitar yang masih luas untuk diolah dan digali. Kekayaan kuliner
Provinsi Yogyakarta semoga semakin banyak dikenal masyarakat atas fasilitas PLUT-KUMKM dan Dinas Koperasi UKM Daerah Istimewa Yogyakarta. Semoga Cao Pegagan dan makanan-minuman istimewa itu semakin banyak yang bisa menyicip dan merasakan serta mendapat tempat di hati masyarakat kota istimewa ini.
Cao Pegagan sudah habis di tempat, saatnya menikmati yang tersisa |
***
Catatan penulis:Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog: "Gelar Produk Makanan & Minuman Istimewa 2019" yang diadakan oleh Dinas Koperasi & UKM D.I Yogyakarta pada tanggal 3-4 Mei 2019 di e.x Halaman Dinas Pariwisata D.I Yogyakarta (Juara II).
Penulis, editor, foto oleh: Dwi Susanti
8 comments
Di sini nggak ada yang jual anggrk toh? Hahhahahhah
BalasHapusEnaknya kalau ada stand seperti ini kita bisa mencari banyak minuman hasil umkm.
Enggak adaa.. kalau ada teneo temanku sebelah memborong mas. Iya lho, bawa uang saku banyak pun akan kurang wkwkwk buat nyobain satu-per satu
HapusFokusku teralihkan dengan x-banner geblek yang nyantumin banyak rasa. Maklum, baru tau ini, kalau geblek ternyata bisa juga "dimodifikasi" dan dicampur dengan maca-macam rasa. Di Purworejo, pol-polan adanya cuma geblek biasa + dikasih bumbu pecel (tapi tetep enak sih XD) Apalagi kalau makannya pas masih anget-anget habis di goreng itu. Beuh, mantap!
BalasHapusIya.. pelaku UKM tu kreatif-kreatif. Sekalinya main kok ya jadi banyak tau makanan-makanan yang belum terpikirkan sebelumnya mas.
HapusAku masih belum bisa goreng geblek biar kaya yang dijual-jual itu wkwk. Enaknya memang disantap pas anget-anget.
Oh pegagan nama tanaman juga yah, selama ini taunya nama menu masakan aja, pindang pegagan ghiut, wkwkwk ;)
BalasHapusIya nama tanaman. Aku malah baru nyicip dalam bentuk cao sekali ini. Biasanya sih dalam bentuk keripik :p
HapusHmmm...., tentu segerrr banget iniiii....
BalasHapusIya Pak :))
Hapus