Hadiah dari Curug Cibiru, Kulon Progo
Kamis, Februari 14, 2019
Musim penghujan yang lumayan menjadi obat peluruh
gersang. Petrichor merambah indra pembau menggugah rasa yang lama datar.
Genangan menjadi cermin lalu-lalang yang terkadang menyiram pejalan kala
terlindas roda-roda. Umbi-umbi keladi yang saya kira mati, ternyata tunas
kembali pertanda usainya masa hibernasi.
Terima kasih hujan yang pagi ini sudi berhenti kala saya berdiri menyaksikan jejeran pedagang di Pasar Dekso. Selasa Kliwon adalah
jadwal pasar tengah ramai-ramainya. Para pedagang sudah mengisi bahu jalan.
Mereka mulai menata bertundun pisang, kelapa tua, beberapa ikat petai, dan
angkot warna-warni berhenti menunggu penghuni. Tepat di seberang tembok SPBU yang tak jauh dari kerumunan pedagang dan pembeli, beberapa bapak-bapak sedang
mengantre untuk mencukur rambut.
“Giliran berikutnya” sahut sang pencukur sambil
merapikan kain putih penutup bahu sang pelanggan. Dikibaskannya kain tersebut, usai
menata genap peralatan yang ada di hadapan. Seorang bapak beranjak dari obrolan
di kursi kayu panjang. Kini gilirannya menjadi pasien cukur.
Saya hanya sempat menyapa tanpa berbincang terlalu
lama. Seorang laki-laki berjaket merah yang berada di tepi jalan utama, menatap
berulang ke arah saya. Rupanya suami sudah selesai mengisi bahan bakar sepeda
motor dari SPBU yang letaknya tepat di balik tembok pembatas tukang cukur menggelar jasanya.
***
Volume deras dari langit yang menjadi tamu tiga hari
terakhir memupuk suatu harapan. Mengunjungi curug tak akan lagi menemu tebing
kering tanpa aliran. Ya, memang boleh berharap asal tetap rasional. Saya
menyetujui usulnya kali ini, bertandang ke Curug Cibiru, Samigaluh, Kulon
Progo. Satu lantai di bawah hamparan Kebun Teh Nglinggo yang sama-sama berbendera Desa
Pagerharjo.
Sawah-sawah di sekitar Kalibawang mulai merunduk, menguning.
Sungai yang selama kemarau hanya terisi batu-batu sudah deras airnya. Anak-anak
sekolah tengah menunggu angkot di pinggir jalan, ada juga yang berjalan
berombongan mengenakan seragam. Meski jalannya meliuk-liuk kadang menanjak,
saya sungguh menikmati setiap kilometernya. Atmosfer perdesaan dengan paket
pemandangan sungai, sawah, jembatan gantung, dan pasar tiban di tepi jalan
membuat kondisi medan jalan tak begitu saya rasa.
Ah jika menuruti rasa, ingin mereguk berhenti untuk
menangkap beberapa gambar. Alasan lainnya, sebenarnya mata saya sudah berair. Bahu
tangan telah menyekanya berkali-kali namun terjatuh lagi. Saya juga harus
berjuang menahan ingus agar tak keluar kandangnya. Sepertinya pagi ini
mengandung hawa dingin, uap air yang disampaikan angin lewat kecepatan
kendaraan. Namun sang pengemudi sepertinya sangat tidak sabar segera bertemu
Cibiru. Dia konsisten pada kecepatan yang lumayan.
Saya bisa apa? harusnya ikut bahagia jika suami
tengah berbunga tak lama lagi menjumpai sang tepian mata. Lha sebenarnya curug
itu berjenis kelamin apa? bukan perempuan kan?
Ingatan tentang rute jalan menuju Curug Cibiru hanya
sebatas Pasar Plono ke arah barat. Rumah-rumah masih sepi hingga bingung kepada
siapa hendak bertanya. Kami ikuti saja cor
blok masuk desa sebagai cabang jalan yang kami curigai sebagai arah ke
Cibiru sampai berhenti di suatu rumah. Terang ibu-ibu di depan rumah itu, kami
salah arah. Kendaraan kami arahkan untuk putar balik ke jalan utama.
“Sebagai patokannya itu tempat penggilingan padi”.
Kata yang terus terngiang, tanpa ingat kata “penggilingan”. Kami hanya mengingat
ada kata “padi”. Benar, ternyata ada plang biru tersender di semak-semak yang
menunjuk arah Cibiru berada di samping penggilingan padi. Lha penggilingannya
belum buka, jadi lebih mirip seperti rumah biasa. Papan biru mungil itu juga
bersender berselimut rumput merambat. Kami masih bersyukur jika akhirnya dapat
menemukan cabang jalan menuju Cibiru.
Benar-benar sepanjang jalan kecil mulus beraspal ini
juga sepi penduduk. Sela dari rumah ke rumah penduduk lumayan jauh. Berbekal
keyakinan saja kami terus melaju, menemui banyak rambu-rambu tanjakan dan
turunan. Sepertinya jenis tanah liat bercampur air hujan yang menempel di aspal
basah menjadikan saya semakin was-was. Jalannya menjadi licin rawan menggelincir.
Berapa kali saya pernah ndlosor
anggun di aspal basah ketika memainkan rem pada jalanan yang sejenis. Pegangan
saya semakin erat, membisik pelan kepada suami agar tetap hati-hati.
Sampai kapan menurut jalan tanpa kepastian petunjuk
arah?
Kami memutuskan untuk permisi mengetuk penghuni rumah
dengan papan keterangan Ketua RT itu. “Iya benar ini arah jalan ke Curug Cibiru
mas, tinggal lurus saja.” Suami permisi kembali melanjutkan tujuannya, sedangkan
saya diam-diam mencuri pandang deretan keladi yang tumbuh subur nan liar di
tepi jalan. “Keladi-keladi itu kalau di toko tanaman dijual Rp30.000,- dua daun
saja.” Saya seperti punya misi terpendam, yang eksekusinya nanti saja kalau
sudah pulang. “Halalkan!” seru saya dalam hati.
Tidak jauh dari rumah Pak RT, setelah turunan ada
gubug beratap rumbia memanjang di sebelah kanan jalan dengan papan keterangan
tempat parkir. Tidak ada satu pun kendaraan yang berteduh di sana, motor kami
menjadi satu-satunya. Setelah menaiki tangga masuk pun juga tidak ada penjaga
tiket retribusi.
Seusai melewati tangga naik, kami meneruskan langkah
melalui jalan sempit yang sebelah kirinya adalah rimbun pohon dan semak-semak.
Sisi kanan adalah jalan air aliran Curug Cibiru yang suaranya sudah menggelitik
telinga.
Ternyata sepeninggal kemarau, Cibiru terabaikan. Satu
musim yang menjelmanya kering, membuat Cibiru ditinggalkan pengunjung dan
pengelola. Beberapa kamar mandi untuk pengunjung diambil alih oleh laba-laba
untuk bersarang. Atap-atapnya bocor dan beberapa dinding kayu mengelupas. Pun
dengan jembatan bambu yang menjadi penghubung jika pengunjung menghendaki
menyeberangi sungai. Kayu melapuk terkikis alam. Ilalang dan rerumputan menggerombol
meramaikan jalan setapak itu.
Pada bulan hujan sehari-hari ini, ia bangun lagi
dari istirahatnya satu musim. Deras alirannya menggaung. Nampak terlihat ada
anak-anak curug kecil di sisi kanan, tetapi sulit saya sanding. Akses jalan
untuk turun tidak memungkinkan. Namun, di satu anak curug yang menggoda mata
bawahnya bangunan musala setengah jadi itu menarik kami untuk turun. Menyibak semak-semak
dan memasang mata pada kaki agar tidak merusak dan menginjak kebun warga.
Kami melanjutkan langkah untuk menemu curug utama. Jika
harus menyeberangi jembatan bambu yang rapuh, pijakan kaki musti terukur. Bunyi
“kretek-kretek-kretek” menyuruh saya untuk mengirim beberapa kode untuk suami.
Dia kan lebih berat dari tubuhku? Oh mungkin dia sudah bahagia.
Treking tidak terlalu jauh mengantarkan kami pada
curug utama. Curug Cibiru yang gagahnya dimiliki sendiran. Gaung derasnya
menyeru untuk merapat dan menikmati guyurannya. Kami segera mendekat,
menyeberangi deras anak sungainya yang masih bersahabat. Beberapa batu hitam
berjejer menjelma jembatan selamat datang.
Bagi ukuran curug yang diabaikan selama kemarau,
Cibiru masih bersih dan terbungkus alami. Sangat jarang ada sampah plastik,
atau batang dan ranting tumbang yang menutup kedungnya. Sedangkan kidung pagi
ini masih kepunyaan hewan-hewan hutan dan serangga yang menembang.
Karakter Curug Cibiru berbeda dengan air terjun yang
berada di Girimulyo, terutama jenis batuannya. Curug di Mudal, Kembang Soka
atau Kedung Pedut yang menjadi adibintangnya Girimulyo mayoritas memiliki
dinding dan batuan kapur berwarna putih. Sedangkan si Cibiru memiliki batuan hitam, bahkan
berbangku batu-batu besar di sepanjang aliran sungainya.
Bedanya pula, Cibiru saat kunjungan kami pada
pertengahan Bulan Januari 2019 masih tak berpenjaga retribusi dan tempat
parkir. Tidak ada manusia lain di area curug seperti tetangga sebelahnya. Jika
pun ada makhluk lain yang tidak kasat mata? Itu di luar indera penglihatan
saya.
***
Saya mengucapkan salam seraya duduk di atas batu.
Tangan saya sibuk menyibak tas, mencari dua nasi bungkus seharga dua ribuan yang
masih terikat karet gelang. Tadi kami menyempatkan membeli di pinggir jalan Kecamatan Minggir. Kami duduk
bertetangga di atas dua batu, sarapan nasi sayur dan tahu isi sambil sesekali
berbincang.
Rasanya, tempat makan mahal pun sulit menandingi
rasanya menyantap sarapan setenang ini. Lulus menyantap sebungkus dengan lekas
dalam kondisi perut sedang lapar-laparnya adalah bonus nikmat Tuhan dengan
perantara Cibiru.
Ini saatnya menciptakan kesempatan saya untuk mengambil
gambar suami di dalam bingkai. Biasanya jika berada dalam kawasan curug, saya
memilih menyilang tangan tanpa menenteng kamera. Suami sudah begitu sibuk
dengan segenap senjata filter, tripod dan lensanya. Di Cibiru, saya memohon
untuk punya kesempatan memotret. Ya, mengambil gambar Cibiru yang sedang deras
dengan laki-laki pemilik sabar tak terbatas itu. *tapi bohong*
Siapa yang takcemburu pada Cibiru? Ranting-ranting
merisik lirih pada kemarau untuk melambat tiba. Ia sedang senang daunnya mulai
bersilih hijau, seolah memamerkan harmoninya di lingkup rumah kecilnya. Saya
mengucapkan terima kasih kepada Cibiru sebelum mohon perkenan pulang. Ini
kertas bekas nasi bungkus sudah saya kemas dalam tas. Semoga asrimu tak ternoda
cemar sampah.
Cibiru, dalam perjalanan pulang darimu pun aku masih
mendapat hadiah. Daun berbentuk hati dengan titik-titik pulas warna putih dan
pink. Segenggam keladi sudah halal saya boyong pulang atas kebaikan hati
ibu-ibu pemilik rumah depan Pak RT. Dengan sabitnya, beliau membawakannya
dengan akar dan umbinya yang masih sempurna. Setiap melihat keladi itu tumbuh
dan bertunas daun baru, saya tentu mengingat pernah menjadi tamumu selepas
kemarau.
9 comments
Itu bunga keladi nggak dibawa pulang? Angkat aja geh, jadi tumbuhan liar di sana.
BalasHapusTetiba aku malah kepikiran Cibiru di Bandung *eh
Lho tak bawa pulang dong. Mana mungkin aku membiarkan tanaman itu begitu saja? E tapi halal, karena aku minta izin sama yang punya rumah :))
HapusNah, makanya di judul tak kasih keterangan Cibiru Kulon Progo wkwk
Ini mesti datangnya pas weekdays ya? Hmm sepi nian.
BalasHapusCurug musiman begini juga mesti pinter datengnya, kalo hari sebelumnya nggak hujan juga kadang nggak ada airnya. Pengalaman waktu ke Lepo Dlingo kapan dulu huhuhu.
Eh nasinya cuma 2rb? Murah bingits. Hahah. Tapi adoh le tumbas.
Aku jadi teringat sama ada yang DM, bales storiesku, katanya "Udah nggak ada lagi ya yang liburan model gelar tiker."
Pas baca tulisan ini jadi inget, ternyata masih ada yang liburannya model gelar piknik keluarga gitu. Enak, nggak mikir apa. Yang penting santai. :)
Ini model nasi kucing tapi menurutku nasinya masih mending banyakan ini. Selain itu ada sayurnya wkwk.
HapusIyoo, banyak air terjun modelnya musiman (semoga temen juga nggak musiman). Musim penghujan gini memang paling asyik nyurug :p
Kusuka piknik model begini mas. Mblusuk-mblusuk bawa bekal terus disantap bareng pas capek atau laper. Maemnya seloww ga diburu-buru sesuatu. Coba dehhh
Kenapa kalian duduknya bertetangga kalo tinggalnya sudah serumah :(((
BalasHapusAhaha biar dramatis aja sih. Moso tak tulis kami duduk "ndusel-nduselan" :'DDD
HapusNtar nganuu
Padahal viewnya bagus gini, kenapa malah pengelolanya pada "melarikan diri" ya? Aksesnya juga nggak susah-susah banget kan mbak? Kok sepine eram...
BalasHapusLha terus foto-foto jalan dan anak-anak sekolah itu, mbok jepret dari atas motor mbak? Gila sih ini, mbonceng di motor yang melaju cepat, tapi masih bisa nyambi jeprer-jepret pakai kamera *Tepuk tangan sambil berdiri aku*
Iya soalnya pas kemarau kering kerontang jadi ditinggalkan oleh pengelola. Padahal jika terus dirawat kan nggak terlalu rugi renov kamar mandi dll ya?
HapusAksesnya gampang. Bener-bener aspal mulus, trekingnya juga nggak jauuh.
Iyes, aku yang jepret. Kalau bonceng suami, aku tu dikasih tugas mendokumentasikan kondisi jalan :'D
Walah, karena itu to? Man-eman...
HapusSungguh, Mbak Dwi menjadi Sie. Dokumentasi yang sangat baiq, profesional, dan bermoral XD Joslah! Hahaha...