Sesek Bambu, Sebuah Potret Denyut Nadi
Kamis, Juni 07, 2018
Pernah ada sesal menyeruak ketika mendapati kenyataan bahwa aku
tak memiliki satu pun gambar sesek
bambu. Jembatan penyeberangan sederhana nan penting, yang begitu lekat pada
masa kecilku. Zaman itu, belum ada gawai apalagi kamera yang bisa kugunakan
untuk mengabadikan potongan cerita pada masa silam. Maka potret tentangnya hanya mampu tersimpan rapi dalam benak. Suatu tempat, yang
tak bisa ditembus serangan virus-virus penghapus berkas.
Di sudut sunyi perdesaan, jembatan bambu yang sering disebut sesek itu adalah denyut nadi masyarakat
untuk mengantar mereka menjemput segenggam beras. Jembatan untuk melahap
buku-buku sekolah yang berada di desa seberang, atau mencarikan sekarung rumput
untuk beberapa ekor ternak.
Keronjot dengan sepeda kayuh, simbah-simbah yang membawa
sayur-mayur ke pasar, anak-anak berseragam sekolah, atau para petani yang
hendak ke sawah mengisi sesek hilir-mudik.
Mereka meniti dengan bergantian, menunggu gilirannya dengan sabar.
Melewati sesek bambu
itu harus dengan antrean satu per satu. Lihatlah ketika wajah mereka berpapas. Senyum
merekah, sapaan berdengung. Tak terdengar bunyi berisik klakson-klakson yang
memekakkan telinga, semua terasa bersahaja. Suasana desa, yang ternyata masih
tersisa untuk kuabadikan lagi, dan kunarasikan dalam cerita.
Sebagai manusia yang dibesarkan, dan tinggal di pinggir Kali
Opak, aku terlatih untuk tak takut menumpang getek bambu menyeberangi kali
ketika banjir, atau meniti sesek
bambu dengan sensasi bunyi kretek-kretek ketika kemarau. Salah satu sisa ingatanku adalah: pernah suatu ketika berusaha
tenang duduk manis di boncengan sepeda jawa, ketika ibu memilih menuntunnya
saat meniti sesek bambu.
Setelah sampai ke pengujung tepi, kami cukup mengisi kotak yang
dijaga bapak-bapak dengan koin Rp.200,00 atau Rp.500,00 untuk sekali jalan.
Jujur saja, momen meniti sesek bambu adalah sesuatu yang sangat kutunggu dari
sebuah perjalanan waktu itu. Deg-degan, tapi bahagia bercampur lega.
Namun, seiring berlarinya waktu, sesek bambu itu mulai
tergantikan oleh pembangunan jembatan beton. Kini gagahnya jembatan-jembatan beton dengan lampu benderang,
memang nampak telah menggantikan. Ia dibangun dari beton-beton kokoh dan besi
baja pilihan. Keberadaannya, memudahkan kendaraan lalu lalang menyeberang tanpa
batasan waktu. Ia adalah milik mereka, yang dituntut serba cepat, mengejar dan
terkejar waktu.
Dengan melewati jembatan yang lebih kokoh itu, warga tak lagi perlu
was-was pada debit air kali, juga tak perlu menyiapkan uang untuk dimasukkan di
dalam kotak penjagaan. Saat itu lah, aku mulai terpisah dengan pemandangan
bersahaja dari titian bambu itu.
Awal Desember 2017, Kali Opak ikut terdampak Badai Cempaka. Gulungan
deras air dalam sekejap telah merenggut beberapa jembatan penting di sepanjang Kali
Opak, dan Oya seperti: Jembatan Nangsri, Kiringan, Soka, Pleret, atau juga
Jembatan Gantung Selopamioro. Mobilitas masyarakat tersendat. Mereka harus
memutar menempuh berlipat jarak untuk tiba di Pasar, Sekolah, Puskesmas, atau
mengapel ke rumah si dia. Berbulan-bulan mungkin, keadaan itu dijalani warga
desa seberang kali.
Terhimpit oleh keadaan, seringkali membuat orang lebih kreatif. Di
beberapa dusun sekitar tempat tinggalku, warganya bergotong-royong memotong
bambu, menganyam, atau ada pula yang menatanya menyerupai papan panjang sebagai
sesek bambu. Sebuah jembatan
penghubung antar dusun, antar desa, bahkan antar kabupaten yang sangat membantu
mobilitas warga.
Memang keberadaan sesek
bambu ini tidak bisa diandalkan lintas musim. Ketika musim penghujan datang,
dan debit air banyak, warga pada akhirnya akan memilih untuk mengamankan
bambu-bambu penyusun sesek ini daripada nantinya hanyut begitu saja terbawa
air. Padahal, begitu banyak perasaan orang-orang yang dengan susah payah ingin
dihanyutkan pun malah kecentel di semak-semak.
Memasuki musim kemarau, ketika sesek-sesek bambu menjadi
penghubung sederhana ini kembali hadir, aku tak ingin melewatkannya lagi di
suatu pagi. Ketika matahari masih samar menyinar, aku kembali mencicipi meniti sesek sambil menggali ingatan. Pagi itu, aku mendapatkan bonus pemandangan yang sanggup mencipta sebuah energi. Menyaksikan
warga yang membantu mendorong keronjot dengan beban berat, atau tertegun
oleh iring-iringan keluarga yang bercanda
hangat sepanjang perjalanan.
Sesek bambu yang kembali hadir, adalah potret sederhana. Sebuah laboraturium
sosial yang masih gratis didapatkan dengan bebas bagi siapapun yang ingin
sejenak berpaling dari jamaah hedoniah yang tengah berkembang. Aku bersyukur masih
diberikan kesempatan olehNya untuk sejenak bernostalgia. Bukankah tak semua kenangan
bisa diulang dalam bingkai yang mirip?
Hadirnya memang hanya sebatas di musim kemarau. Begitu sejenak. Bahkan kudengar di sisi
barat Pajangan yang dilintasi Kali Progo ini akan dibangun jembatan permanen lagi.
Aku akan sangat merindukan potret-potret sederhana ini. Setidaknya, aku pernah memiliki
kenangan dengan sesuatu yang aku tahu pada akhirnya nanti akan hilang, kemudian tergantikan.
***
Foto-foto di atas, diambil oleh penulis di tiga lokasi sesek bambu: Sesek bambu Pajangan, Nangsri, dan Pranti, Bantul.
47 comments
Epic bangte foto-fotonya! Apalagi yang ada siraman berkas-berkas sinar mataharinya. Rasanya adem campur hangat.
BalasHapusSepanjang ingatan saya, terakhir melintasi dan menyaksikan sendiri jembatan bambu seperti itu ketika masih balita, di Sulawesi. Jembatan bambu melintang di atas sungai dangkal berbatu. Dibawahnya ada gajah dan truk yang sedang mandi bersama.
Makasih banget mba.. wkwk adem campur hangat tu gimana yaaa? :p
HapusWaaa, terakhir pas balita? huhuhu lama sekali, jangan-jangan kita seangkatan. *eh
Tapi itu pemandangannya kok seru sekali ada gajah mandi segala mba?
Lokasi jembatan kali Opak ini tepatnya dimana,kak ?.
BalasHapusBagus banget nih buat foto-foto.
Aku belum pernah ngrasain nyebrang jembatan bambu di atas sungai seperti ini ..., jadi pengiin banget ngrerasain sesnsasinya.
Kalau foto yang paling atas, yang sesek bambunya paling panjang ini berada di Mangir, Pajangan, Bantul mas. Jembatan sesek bambu yang menghubungkan Bantul dan Kulon Progo.
HapusJika musim penghujan, biasanya sih berganti pakai getek bambu (perahu), kalau kemarau ganti sesek. Coba aja cari di maps: Desa Wisata Mangir, Pajangan, Bantul, nanti nanya warga :)
Baik, kak .. terimakasih infonya,ya.
HapusApik banget suasananya.
Kak Dwi ini pinter nyari lokasi unik 👍
Kehidupan kehidupan damai di desa iki emang deh. Adem banget rasanya :")
BalasHapusBikin kangeeen kan?
HapusSuasana paginya juaraaak... melihat pemandangan yang tak biasa :)
Sesek seperti ini sebenarnya juga menjadi sentilan untuk pihak-pihak terkait. Oke lah di sudut lain sudah dibuatkan jembatan penyeberangan yang besar, hanya saja warga harus lebih jauh memutar. Bagi kendaraan bermesin itu hal yang biasa, tapi di Bantul masih banyak anak-anak maupun warga yang menaiki sepeda. Mereka tentu butuh jembatan yang dekat dan cepat.
BalasHapusSemoga saja nantinya jembatan-jembatan baru dibangun dengan warna yang sama; kuning cerah.
Betul, besok kalau udah ada jembatan permanen, aku kehilangan pemandangan adem begini :(((
HapusMbok gapapa ada jembatan beton, ya sesek bambu. Wong ini sebuah kreatifitas warga untuk menyingkat jarak...
Wkwk kenapa ya kok kuning? Nggak abu-abu aja mas kaya perasaanmu?
Gara-gara bac apostingan ini aku baru tahu kalau jembatan kuning legendaris (tempat pacaran jaman KKN #uhuk) ikutan hanyut hiks.
BalasHapusDulu, saat SMP, aku pun pernah mengalami hal seperti ini, mbak. Jadi jembatan besar penghubung ke kota kecamatan sudah rapuh. Terus mau direnovasi. Nah disebelahnya dibangung jembatan bambu n kayu yang bisa dilewati motor buat jembatan sementara. Eternyata baru 2 mingguan ada banjir besar, jembatannya hanyut.
Sementara kami harus jalan kaki di sebilah papan besi selebar 30-40cm di jembatan yang baru dibangun, tanpa ada pegangannya. Itu horor banget. Pilihan lain adalah lewat titian bambu tapi yang nempel langsung di permukaan air sungai. Paling 3 atau 4 bambu dijadiin satu buat titian. Ada sebulanan kami melewati itu. Sayang dulu belum ada ponsel berkamera ya.
Kok kaya di gambar-gambar gitu mbakk rasanya :(( sedih aku.
HapusAnak-anak pada zaman itu semangatnya masih tinggi luar biasa.
Bandingkan dengan anak-anak zaman sekarang yang sekolahnya deket aja musti naik motor :o
Tapi sekarang jembatan besarnya udah jadi dan baik-baik saja kan mba?
Iyaaa jembatan gantung kuning Selopamioro tinggal kenangan.
Anak-anaknya harus muterrr sampai Siluk dulu buat sekolah di Kedungmiri. Semogaaa segera dibangun kembali..
Ini sebelah mana to mbak tempate? Aku pengen cobain nyebrang 😂😂
BalasHapusBantul mba, lebih tepatnya di Mangir, Pajangan, Bantul. Menghubungkan Bantul dengan Kulon Progo.
HapusDidatangi aja mba, kemarin sempat dipasang terus terbawa air banjir... Terus bikin lagi
Ternyata udah ada di Google Maps..
HapusDulu mau cari tapi belum ada di GM eh.. hehe
Suka
BalasHapusMakasih mbak Hayaa :*
HapusTerakhir lewat sesek mangir th 2015, rasanya wow bgt tanpa pagar kanan kirinya air dan suara bambunya klothak2 sepanjang jembatan dan karena dr susunan bambu laju motor serasa gk stabil kaya naik rollercoaster 😂😂
BalasHapusUdah tiga tahun yang lalu ya ternyata?
HapusIya, aku nggak yakin berani misal naik motor. Keseimbanganku masih payah sekali... Huuuuuhu
Pas ke sana, cuma berani jalan kaki :p
Jembatan ini bersaksi bahwa bambu2 itu dirajut oleh tangan2 terampil.. Tidak hanya menjadi penghubung, tetapi juga sebagai penyejuk bagi dua bola mata ini yg jenuh melihat gedung gedung yg ingin menusuk langit serta gemerlap kehidupan ketika malam hinggap. Cukup sederhana namun memberi makna.
BalasHapusHaaa puitis sekali mas? Masyuk. Wkwk
HapusCoba nulis lebih panjang, jadi kontributor di blogku :p
Ini istilah baru lagi. SESEK *catet*
BalasHapusTak kira tadi artinya itu semacam besek, apa apa gitu. Ternyata malab jembatan bambu.
Kalau di daerahku nyebutnya 'wot' kalau nggak ya kreteg. Pernah juga ngalami masa-masa nyebrang jembatan bambu begini pas kecil. Walaupun nggak sepanjang sesek - sesek seperti difoto, tapi tetep aja ada kenangan tersendiri kalau diinget-inget. Bikin rindu :)
Dikira besek ya mas? 😂
HapusAku juga mengenal istilah kreteg dan wot sih hehe. Istilah zaman duluu byanget itu dari simbah2.
Iya, sesek itu jembatan bambu. Alhamdulillah kalau sudah pernah mencicipi, berarti masa kecilmu bahagia mas :p
Cobain yg lebih panjang di Bantul :))
Aku mau nyoba nyicipi Geblek Pari di daerah Nanggulan aja belum jadi-jadi, mbak. Eh, ini udah ada rekomendasi lagi XD
HapusKalau gitu pagi-pagi ke jembatan sesek ini dulu, habis itu pulangnya ke Geblek Pari :p
HapusSesek hatiku melihat dirinya dengan lainnya~
BalasHapusWoh mbalesss iki ceritane 😂😂😂 *tapi aku ngekek wkwk
HapusMasyuk lah
Memang benar nggak bisa bertahan dimusim hujan, namun dimusim kemarau dapat diandalkan hehe
BalasHapusBetul, keberadaannya kalau musim penghujan tergantikan oleh getek bambu mas
HapusMbak Santi, aku suka banget baca tulisanmu. Pemilihan diksinya kaya, tulisannya rapih. Foto-fotonya pun jumawa! Apalagi yang rays of light itu.
BalasHapusAku jadi inget dengan sesek bambu yang menjembatani dua tepian Sungai Oyo di dekat rumah kakek-nenekku di Nglipar, Gunung Kidul. Sekarang juga sudah tergantikan jembatan beton.
Terima kasih mas :))
HapusIya, kalau perginya pas pagi-pagi gitu dapet banyak momen deh. Orang-orang baru mau berangkat ke pasar, sawah, dengan berbarengan matahari yang baru muncul. Dapet deh RoLnya :D
Huhu iya, aku pernah menuliskan tentang getek bambu di Kali Oya yang memisahkan Bantul-Gunungkidul. Rencananya juga di sana mau dibangun jembatan beton :')
http://www.relunglangit.com/2016/07/melintasi-bantul-gunungkidul-sebuah.html
Betul mas, jika memiliki kenangan lewat jembatan sesek bambu begini susah ilangnya :)
BalasHapusMeskipun dibuat oleh tangan-tangan kreatif dan dengan bahan bambu, tapi menjadi denyut nadi penting masyarakat :)
Semoga, anak cucu nanti tetap masih diberi kesempatan melihat laboraturium sosial sederhana ini. Kesederhanaan. Bersahaja.
Yang tradisional hampir selalu menghadirkan keotentikan. Ada kesederhanaan di sana. Dan setiap yang sederhana, biasanya bersemayam 'kecantikan' menggoda untuk siapa saja yang peka. Termasuk sesek ini. Sebenarnya ini hanya jembatan 'biasa'. Tapi dimaknai dengan renyah dan bersahaja. Suka bacanya :)
BalasHapusTerima kasih mas :)
HapusSemoga anak cucu besok masih bisa melihat penampakan sesek bambu dan segala cerita kesederhanaan pelewatnya :)
Gara-gara baca postingan ini, aku jadi mengingat-ingat kapan terakhir melewati jembatan bambu kayak gini. Sepertinya aku benar-benar lupa.
BalasHapusOyaa, tapi yang aku ingat pernah melewati jembatan gantung yang ada di daerah imogiri pas acara jogja international heritage walk.
Hayo kapan? :p
HapusJembatan gantung itu sekarang sudah hanyut terbawa banjir badai cempaka, Desember tahun lalu mas :(
Sering bnagt melewati jembatan bambu tapi jarang sepanjang itu. Semua fhoto punya cerita tersendiri ya.
BalasHapusIya, jembatan bambu ini terpanjang di sekitar rumah mba :)
HapusDari fotonya aja sudah bercerita, apalagi menyaksikan secara langsung suasananya :)
Kok aku terbahak membaca ini ya
BalasHapusbegitu banyak perasaan orang-orang yang dengan susah payah ingin dihanyutkan pun malah kecentel di semak-semak.
kamu selalu pandai menyisipkan perasaan ��.
btw, bentar lagi tulisanku kelar. mereferensi tulisanmu ini..wkwkw
Wkwk kamu ki senengane lak sik baper-baper :p
HapusHo oh, sudah baca di Insanwisata. Tulisannya memesona, begitupun jepretan fotonya :))
Pengen ke jembetan itu belum sempet eung, gowes asik juga ya..he
BalasHapusBener sih, Teh. Kalau pengen dapet pemandangan yang sepi dan gak begitu rame emang lebih baik pagi, selain bisa foto puas pemandangannya pun masih sejuk.
Kok jadi inget masa kecil ya bacanya, dimana aku juga pernah merasakan dibonceng sepeda oleh ibu, dan ibu menuntunnya. Duh masa-masa kecil dulu beda banget dengan masa kecil anak-anak sekarang ya, Teh.
Gowes sampai sana lebih mantep lagi mas, apa lagi pas pagi-pagi banget, ada RoLnya gituu huhu
HapusMasa kecil memang susah dilupakan, berbahagia dan bersyukur memiliki masa kecil yang "asyik" jauh dari gadget heuheu
Sejuk dan segar suasananya untuk dipandang mata...
BalasHapusMeski terkadang ada mirisnya juga bila musim penghujan..Namun semua itu dapat terobati karena alam serta warga desanya yang santun dan bersahaja...😄😄😄
Iyaa.. makasih banyak mas
HapusKalau musim hujan berganti getek (perahu) tapi tetap bersahaja juga kok suasananya :)
Habis baca postingan ini jadi pingin jalan diatas jembatan sesek bambu seperti foto yg terakhir hehehe.....
BalasHapusSilakan saja mas :)) ngajak teman, biar ada yang motoin
HapusHi Mba Dwi,
BalasHapusTulisannya bagus banget. Pemilihan katanya apik, gambarnya juga keren, ROLnya bikin emosional bergejolak ni walaupun belum pernah ke tempat itu.
Salam.
Ogie
Terima Kasih Ogie,
HapusWassalamualaikum Wr.Wb :))