Terkenang Kabut Menggenang di Gunung Ireng
Senin, Desember 04, 2017
Subuh belum menjeru ketika mataku sudah setengah terbuka. Oh
masih jam dua. Aku yang telah terbangun, kemudian berjalan menuju teras rumah. Duduk
menghadap ke arah timur memperhatikan langit cerah dengan bulan bundar bersanding
gumpalan mega.
Malam tadi, aku memang telah menolak ajakan Tirta untuk menyaksikan
matahari terbit di Gunung Ireng jam tiga buta. Bagiku, itu adalah ide gila. Jadi tanpa
berfikir panjang kutolak saja ajakannya.
Eh ternyata, alam bawah sadarku masih
belum mengikhlaskan sepenuhnya. Kenyataannya tidurku tak nyenyak sampai terbangun
jam dua. Waktu itu, yang terbesit pertama kali adalah: aku pingin ikut.
"Tir, aku jadi ikut nyunrise ke Gunung Ireng." Tulisku dalam sebuah pesan yang kemudian kukirim jam dua pagi.
Langit cerah yang kusaksikan di teras rumah, turut menyokong
keyakinan sekian persen bahwa sunrise pagi ini bakal epic. Semoga perasaanku
tak salah. Aku segera masuk kembali ke dalam rumah untuk siap-siap bergegas. Menurut
kesepakatan, jam tiga pagi harus sudah standby di depan Polsek Imogiri.
Hmm, ini adalah rekor perjalanan menyaksikan sunrise ter-gasik. Harus banget sendirian jam setengah tiga keluyuran dengan modal nekat dan nyali yang kupupuk setiap detik. Sepanjang jalan gelap. Bahkan aku menjadi satu-satunya
penghuni jalan tengah sawah itu. Tak hentinya kupanjatkan
doa. Semoga aku selamat tak kurang satu apa.
Aku sengaja agak ngebut. Biar cemas yang terlanjur menderas terpangkas singkat. Tak terasa, laju sepeda motorku sampai depan Polsek Imogiri. Di sana ternyata aku sudah ditunggu oleh Tirta, juga Mbak Mardiya yang berboncengan dengan adik laki-lakinya. Oh ya, Mbak Mardiya itu rumahnya Turi, Sleman ya. Jadi tadi dia harus satu jam lebih pagi berangkat dari rumah.
Aku sengaja agak ngebut. Biar cemas yang terlanjur menderas terpangkas singkat. Tak terasa, laju sepeda motorku sampai depan Polsek Imogiri. Di sana ternyata aku sudah ditunggu oleh Tirta, juga Mbak Mardiya yang berboncengan dengan adik laki-lakinya. Oh ya, Mbak Mardiya itu rumahnya Turi, Sleman ya. Jadi tadi dia harus satu jam lebih pagi berangkat dari rumah.
Baiklah, tiga motor srikandhi gila ini siap naik, melucuti sepi-gelap
tanjakan Dlingo untuk menuju pagi di Gunung Ireng, Gunungkidul, jam tiga
menjelang subuh.
Meskipun ini adalah kali kedua aku ke Gunung Ireng, tapi aku
sudah agak-agak lupa jalannya. Ditambah jalanan benar-benar masih gelap. Aku
meraba jarak, memaksa ingatan kembali. Kapan harus terus, kapan harus belok. Kapan harus berhenti mencintai. *eh.
Sampai pada suatu jalan, motorku berhenti. Begitupun motornya
Tirta dan Mbak Mardiya. Di sepanjang perjalanan tadi, aku tak melihat gerbang
hijau bertuliskan "Gunung Ireng". Mau mengecek lewat google maps, yang
terlihat hanya sinyal tanda silang. Mau bertanya, tak ada orang yang lewat atau
sekadar berada di luar rumah. Ya wajar, saat itu azan subuh baru saja selesai
berkumandang.
Aku memutuskan untuk menyusuri jalan yang sudah terlewati. Tirta dan Mbak Mardiya tetap tinggal di pertigaan. Setelah aku menemukan gapura bertuliskan Gunung Ireng, selanjutnya kujemput Tirta dan Mbak Mardiya untuk mengikutiku dari belakang.
Aku memutuskan untuk menyusuri jalan yang sudah terlewati. Tirta dan Mbak Mardiya tetap tinggal di pertigaan. Setelah aku menemukan gapura bertuliskan Gunung Ireng, selanjutnya kujemput Tirta dan Mbak Mardiya untuk mengikutiku dari belakang.
Saat memasuki gapura, kabut sudah menggelora sampai
jalan-jalan. Dengan hati-hati aku lewati jalan corblok sempit sampai menuju
tempat parkir yang masih gelap dan sepi. Aku dan Tirta memutuskan untuk salat subuh di gazebo kecil,
tempat biasanya petugas melakukan pemungutan retribusi. Sedangkan Mbak Mardiya
dan adik laki-lakinya duluan naik Gunung Ireng.
Langit masih gelap subuh itu. Tangga baru yang dibuat oleh
pengelola pun sampai belum terlihat. Senter gawai akhirnya sengaja dinyalakan untuk memandu
langkah dalam gulita.
Sesampainya di atas, genangan kabut terlihat oleh mata
meskipun matahari belumlah terbangun. Sinar-kelip lampu nampak dari bawah
sebagai bintang menyinar redup karena berselimut kabut.
Tirta dan Mbak Mardiya segera mengambil posisi terbaik untuk
mengambil gambar. Tiang-tiang tripod tegak berdiri menyangga kamera mereka. Aku yang tidak memiliki tripod, harus sabar menunggu agak terang agar gambar yang diambil tidak blur-kabur.
Genangan kabut itu sedang mencari jalannya. Belum tahu
arahnya ke mana, tapi dia memiliki dinamika tariannya. Kadang menebal, kadang
menipis. Begitupun langit pagi itu. Dari gulita, semburat merah, hingga hangat
menggantikan beku. Matahari telah muncul. Burung-burung mulai terbang menghias
langit.
Pagi di Gunung Ireng, tak seramai di Bukit Panguk Kediwung,
Jurang Tembelan, ataupun Kebun Buah Mangunan. Tak ada spot ala-ala yang terlalu
mencolok, tak harus berantre untuk sekadar mengambil gambar. Cukup duduk-duduk
di atas gunungan batu hitam, mendekap tangan, sambil menikmati dinamika kabut
dan kehadiran Matahari. Di sana, hanya ada suatu gubug kayu dengan atap rumbia,
satu gazebo permanen beratap genteng, juga kursi kayu dan meja-meja.
Untuk menjaga hangat yang digempur dinginnya pagi itu,
sepotong roti dan teh hangat bisa dijadikan pilihan untuk mengganjal perut
menanti sarapan. Mbak Mardiya sungguh pengertian, dia menawarkan termos tehnya
untukku. Uap panasnya mengebul, setiap teguknya menetralkan dingin yang mulai
membuat menggigil.
Meski tanpa warung dengan kopi dan mi instannya di pinggiran,
tempat ini bisa dijadikan alternatif bagi penyuka kabut tanpa harus treking
kepayahan. Tempat ini, juga untuk mereka: penyuka pagi syahdu tanpa sesak antre gerombolan pemuja spot
kekinian. Selain pemandangan barisan tower di sisi utara, genangan luas
kabut, pengunjung juga bisa menyaksikan
sawah-sawah membentang di sisi selatan.
Untuk penyuka pemandangan asri ala perdesaan sepertiku, ini
adalah tempat yang pingin kukunjungi setiap pagi. Rasanya gemes melihat petak sawah dari atas. Aku berinisiatif meminjam lensa telenya Mbak Mardiya. Kemudian mulai kuabadikan sebuah suasana pagi di sawah dengan genangan kabut tipis di atasnya.
Di tempat seperti ini, kita bisa leluasa berdialog dengan
hati. Menenangkan ambisi yang tak terpagar besi. Melarung prasangka yang tidak
pada tempatnya.
Di tempat ini, aku pernah duduk berhadapan dengan lampu yang
masih kelap-kelip hingga padam. Menyaksikan kabut bergelut dengan secercah
sinar yang merasuk. Dari kabutnya yang mobal-mabul, memadat lagi, menguap,
hingga terlihat petak-petak sawah di bawah.
Gunung Ireng. Hmmm, sepertinya aku perlu mencari jalan
pintas. Agar ketika aku rindu, aku langsung membuka pintu. Duduk selonjoran di
batu-batu, memangku haru harap-harap itu.
Duduk-duduk sebentar di sini saja aku sudah bisa menulis
sebait puisi ala-ala lho :p
Sesaat kemudian, aku terlibat pembicaraan dengan Tirta.
Katanya sih jika dia memiliki rezeki, pingiiin lho beli tanah di sini. Biar
tiap pagi, bangun-bangun, buka jendela, langsung bisa menyaksikan kabut disusul kemunculan matahari.
Ah, aku juga kepingin kalau itu. Tapi lebih ingin lagi,
bangun-bangun sudah ada kamu di sampingku :)
***
Catatan: Untuk foto yang ada aku-nya, credit foto oleh Mbak Mardiya.
Selain itu, adalah jepretan pribadi penulis.
37 comments
Jadi sekarang gunung ireng ada gituannya? Hemmm bentar lagi ada kedai kopi di sana hahahahahha
BalasHapusKalau nyunrise begitu sampai kembali pamit pulang, blass belum ada penjual di sana mas. Enaknya sih iyaa duduk-duduk sambil minum anget yaaa
Hapuskalo gitu sangu kopi dewe, wkwkwk
HapusTeh sajalah aku mbak :p
HapusWes cocok karo mas sing kae. Podo nekat e.
BalasHapusHabis ini bisa belajar banyak sama mas e, mbak. :D
Kalo aku sih sunrise nekat ya ke Mangunan berangkat jam setengah 3 pagi. Eh tapi waktu itu ada temennya ding. Wqwq
Btw, ini udah izin kang mas belom? *eh
Ini kenapa kok malah bahas kangmas? di group belum cukup? :p
HapusAku izinnya mau nyunrise aja. Le jujur pas udah sampai rumah wkwk
Mas Gallant pas kae ngajak nyunrise jebul mangkat e setengah 7 -.-
Aaaaah ku ingin mengejar kabut seperti ini, lamaaaaa banget nggak duduk melamun menanti mentari. Nunggu bocah gedean ah.
BalasHapusBtw mungkin Gunung Ireng ini semacam Bukit Klumprit buat nyunset yak. Yg bisa kita lakukan cuma duduk-duduk di batu nunggu mentari terbit apa terbenam. Memaksa kita berdiam dan berdialog dengab alam.
Betul mbak, cocok buat menepi, menyepi, menenangkan diri, mendinginkan hati :p
HapusKayanya bRe berani lah kalau cuma ke sini mbak. Jalan kakinya dari parkir cuma dekett... udah ada tangganya juga :)
Duduk sejenak disitu bisa bikin puisi beberapa baris. Kalo rumahnya disitu begitu buka jendela barangkali sudah jadi satu buku kumpulan puisi :p
BalasHapusIni tumben udah mulai lagi dolan-dolan ke blog orang wkwk
Hapussudah sembuh mas? :p
Kapaan lagi kautulis untukku ~
Tulisan-tulisan indahmu yang duluuuu
Pernah warnai duniaa
Puisi terindahmu hanya untukku ~
*tebak lirik
Teeeeeet
HapusBojo galak
Banguuuunnn -.-
HapusAyok mengejar kabut lg, kalau aku punya tempat favorit di Panguk.. dari jaman masuk masih seikhlasnya sampai sekarang udah aspalan, mau zonk apa enggak ke panguk tetap favorit untuk nyari kabut... oh iya 1 lg, puthuk setumbu
BalasHapusAku juga suka Panguk mas, ideal. Ngadep timur.
HapusAku suka Panguk, Gunung Ireng, sama Bukit Turunan Gunkid.
Panguk ituuu sayangnya udah ramai-ramaiii gitu lho.
Aku belum pernah ke Setumbu :(
Argh! Itu epic banget ya Allah *.*
BalasHapusBuntalan kabut yang kayaknya riang banget menyambut pagi. Ntah kenapa kabut di lereng gunung selalu mengingatkan gue sama The Lord Of The Ring. Nyeremin, tapi full of mysteries *.*
Ayo ngabut mbak :) pas nggak malas bangun pagi, terus bisa ketemu sama genangan-genangan kabut itu
Hapuswoow, romantic view ya..
BalasHapusbtw, salam kenal buat mba dwi pengantin baru.. :)
Hehehe makasih mbak :)
HapusMohon doanya yaaa...
Pemandangan dan spotnya keren banget, jadi pengen kesitu. Aku rasa bakal banyak inspirasi datang. Dan akan tenang dari bisingnya suara knalpot perkotaan :)
BalasHapusMasih di kawasan Yogyakarta kok kak... silakan dieksekusi :p
Hapusdi sana adem dan tenang suasananya :)
semenjak ada rumahnya itu, gunung ireng jd menarik bgt buat difoto, tentunya plus kabut :D. klo februari sido ke Jogja mau nyoba mampir kesini
BalasHapusAaa iya, aku aja ketagihan kok ke sana lagi :) hawa adem dan nyejukinnya itu juaraakk
Hapusnegeri di atas awan.. sumpah kece bangedd... pengen..huhu
BalasHapussalam kenal ya... ;)
Terima kasih :))
Hapuskalau di jogja pagi-pagi, boleh kok diagendakan ke sini. Hehe.
iya.. Salam kenal kembali
Iiihhhh..... kabut gitu ya.. kayak lagi di atas awan...
BalasHapusIyaa hehe... Mari mampir ke Gunuung Ireng :))
HapusOMG. Ini keren banget pemandangannya.
BalasHapusEmang gitu ya kalo kita nolak secara lisan tapi padahal dalam hati tetep pengen ikut, suka gak tenang dibawa tidur pun.
Googling ah tentang gunung Ireng ini.
Iya berasa ga tenang kalau mengingkari hati nurani tuu :)
Hapusmakasiiih mas, silakan berkunjung ke Gunung Ireng jika bertandang ke Jogja...
Aku sudah lama tak berburu sunrise kayak gini. Apalagi pilihan sunrise di sekitar semarang juga tak banyak.
BalasHapusTempatnya sepi dan tenang, cocok untuk menepi dan ngomongin masa depan *halah :D
Waaa kalau udah bawa-bawa ngomongin masa depan ya nggak boleh nyunrisenya sendirian :p
HapusAgendakan ke Jogja terus menemui sunrisenya mas :)
spot wajib para pemburu sunrise dan sunset ini kyknya, minum lemon tea panas dikala sunset dan kopi pait panas disaat sunrise, kyknya bakalan seru dan full of inspiration deh tuh, noted ya! Thanks for sharing mbak...
BalasHapusIya mas, terlebih tempat menyunrise ini.. Epic sekalii pas cerah :)
HapusIya, sama-sama. Terima kasiih sudah membaca :))
Keren viewnya,kak ... apalagi ada kabut 👍
BalasHapusPagi memang selalu punya cerita :))
Hapusmakasiih kak, kapan-kapan boleh hunting kabut ke sini
Pemandanganya indah banget, jadi pengen ke situ ..
BalasHapusHmm.. Sering liat plangnya ke Gunung Ireng, tapi belum pernah berkunjung..
BalasHapusItu meski cukup disayangkan sunrisenya kehalang kabut, tapi malah jadi syahdu ya.. haha
Sempatkan mas :p
HapusTempat ini masih punya tempat di hatikuuu :') syahdu begini selalu sukaa