Memulai Hari dengan Menuntaskan Rindu: Sunrise Bukit Panguk Kediwung
Kamis, Desember 01, 2016
Aku tak lagi bertemu dengannya sejak empat bulan yang lalu.
Kamu tak tahu bagaimana aku mengharap sebuah pertemuan dengannya di
setiap separuh malam menjelang pagi?. Bagi seseorang yang sedang merindukan, pertemuan adalah obat yang
sebaiknya harus disegerakan.
Sungguh, setiap rindu memiliki konsekuensi.
Dan bagaimana usaha untuk menuntaskannya hingga habis?
Eh boro-boro untuk menuntaskan,
ujian usaha untuk menipiskan rindu itu pun sungguh tak sedikit.
Bagaimana tidak?
akhir-akhir ini kemunculannya lebih awal, ketika langit gelap masih
berhias bintang.
Akhir-akhir ini hujan deras juga sering mengguyur di separuh malam menjelang subuh. Dingginnya? tidak usah dibanding-bandingkan dengan dinggin sikapnya selama ini.
Akhir-akhir ini hujan deras juga sering mengguyur di separuh malam menjelang subuh. Dingginnya? tidak usah dibanding-bandingkan dengan dinggin sikapnya selama ini.
Alasan yang berderet-deret itu sungguh menciptakan sebuah kenyataan:
"sulitnya
mencari teman yang sehati seiring untuk menemaniku dari gelap hingga semburat fajar
itu membuka tirai paginya".
Memang,
cukup banyak teman yang menawarkan diri untuk bersama menikmati
senja hingga gelap. Banyak.
Tapi, hanya seribu satu yang mau menyibakkan selimut hangatnya demi
membelah subuh.
Seribu satu teman yang mau di sampingku menyaksikan sunrise pagi
mengawali sebuah hari.
Dan dia, mungkin satu di antara seribu itu.
Tirta Perwitasari, teman tangguh menyunriseku.
Beberapa kali aku mengandalkannya menjadi teman ketika sunrise tiba.
“Mbak, jam 03.30 WIB dari rumah ya, aku tunggu di polsek Imogiri”
begitu
pesan singkatnya melalui chat whatsapp.
Bahagiaku bukan main.
Akhirnya aku memiliki jembatan untuk menuntaskan rindu.
Sekitar jam 03.30 WIB sesuai janji yang telah kita sepakati, sepeda
motorku melaju dengan kecepatan sedang menuju arah Polsek Imogiri.
Aku masih ingat betul bagaimana rasanya menggigil kedinginan melaju sendirian
tanpa jaket diiringi suasana langit yang masih menyisakan dua bintang di sisi
utara.
Selebihnya, hanya terdengar hewan-hewan di sawah yang bersahutan
menyambut subuh.
***
Standar motorku menjadi tumpuan ketika motor telah terhenti sempurna di
depan Polsek Imogiri. Kakiku dingin, segera kunaikkan sedikit agar lebih
terselimut rok orangeku. Tanganku
sibuk mengecek kembali chat whatsapp
sambil duduk memperhatikan spion motor. Pesan yang mengambarkan mereka tak lama
lagi sampai, dibuktikan oleh sorotan silau lampu motornya dari kaca spionku
sebelah kanan.
“Oh… Tirta sudah datang ditemani Jagadh, adik laki-lakinya.”
Aku kemudian mengikuti arah kedua kakak adik berkacamata itu membelah
gelap jalanan Dlingo.
Masih gelap berpayung rimbunnya pepohonan yang menciptakan atap-atap
berpayung daun sepanjang jalan. Meliuk, menanjak, dengan sesekali mata dibuat
silau dalam sunyi dengan sorotan lampu jarak jauh kendaraan dari arah
yang berlawanan. Kendaraan-kendaraan tersebut ternyata menuju Kebun Buah
Mangunan.
Pintu masuk Bukit Panguk Kediwung Dlingo ketika kabut sudah naik |
Arah untuk menuju Bukit Panguk, Kediwung, Dlingo searah dengan Kebun Buah
Mangunan yang lebih dulu tenar itu. Sepanjang perjalanan Ke Kebun Buah
Mangunan, akan banyak papan nama yang menunjukkan ke lokasi. Arahkan saja kendaraanmu sekitar 2
kilometer ke arah kiri Kebun Buah Mangunan. Hati-hati, karena jalannya masih belum semulus angan-anganmu.
Penampakan parkiran Bukit Panguk Kediwung, ketika kami perjalanan pulang |
Sepagi ini, ketika adzan subuh sudah terdengar samar-samar, sepeda motor
kami telah terparkir di tempat parkir Bukit Panguk, Kediwung, Dlingo. Beberapa
motor sudah berjejer rapi di sana. Agak heran juga, beberapa dari sepeda motor
mereka berplat luar kota.
Tentengan mereka adalah kamera, samping mereka adalah pasangan.
Eh entah juga, apakah teman, apakah baru diusahakan lebih dari teman
dengan ngajakin nyunrise bareng. Yang jelas aku melihat ekspresi kedinginan
mereka sudah memiliki penawarnya yang sedang ada di samping.
Tak perlu heran jika sepagi ini tempat ini sudah tak lagi sepi. Karena
memang waktu terbaik untuk mengunjungi Bukit Panguk adalah ketika pagi hari
sebelum fajar.
Jangan khawatir akan ketinggalan
sholat subuh, pengelola sudah menyiapkan Mushola bambu bagi pengunjung yang
akan menunaikan sholat.
Langkah kami dilanjut membelah jejeran pohon jati. Langit masih gelap, namun sudah terlihat orang-orang yang begitu setianya duduk-duduk di
kursi kayu yang terletak antara selang-seling baris batang pohon jati. Wajah
dan mata mereka seragam, serentak menatap ke arah yang sama. Arah timur.
Kakiku semakin berat. Oh, hujan semalaman memang tak selalu menyisakan
genangan. Pada tanah sejenis ini, hujan akan membuat tanah menempel erat
semakin tebal berlapis pada alas kaki.
Terlihat kaki-kaki tripod kokoh berdiri, berjejer sepanjang pagar ruang gardu pandang.
Ada sekitar lima gardu pandang yang disediakan oleh pengelola. Semuanya
kebanyakan terbuat dari bambu yang dibentuk menyerupai dermaga di atas bukit
menjorok ke bibir jurang.
Antre ya :) |
Salah satu pengunjung |
Kami berjalan dengan alas kaki yang telah berlapis tebal tanah basah
lengket menuju gardu pandang yang pas berhadapan dengan arah matahari yang
muncul di balik bukit. Di sisi timur, kulihat langit berlukis semburat jingga
yang membelah lebar langit putih. Pemandangan bawahnya, ada genangan kabut
tebal meliuk mengisi ruang kelokan kali oya.
Samudra kabut ketika fajar |
Dokumentasi oleh: Tirta Perwitasari |
Dokumentasi oleh: Tirta Perwitasari |
Yaa.. yang kemarin sore tenggelam di kaki langit, kini kembali muncul
dari ufuk timur. Aku menyaksikannya dengan menatapnya dalam tanpa menyilaukan.
Cahayanya menghangatkan, seperti mengusir kedinginanku yang masih membuntuti
sepanjang perjalanan tadi.
Cahayanya, juga seperti memberikanku energi untuk bekal kerinduan yang
akan datang kembali.
Kabut putih dan cahayanya di kala pagi berdampingan serasi. Sejuk
berdampingan dengan hangat. Sungguh mereka pasangan serasi yang saling melengkapi.
Langit berwarna mistis itu berlangsung sangat singkat, tak lama suasana berubah serba putih karena kabut mulai naik.
Pemandangan ketika kabut mulai naik ke atas |
Bagaimana mungkin aku bisa menahan diri untuk tak merindukannya secara
cepat, jika magnetnya se-mempesona itu?
Selamat pagi awal Desember,
Selamat pagi bulan di penghujung tahun 2016. Semoga nanti, teman
menyunrise bukan lagi masalah berarti ketika tinggal membangunkan di waktu
subuh, dia yang ada di sisi :p.
Berikut adalah kumpulan galeri foto beberapa kali kunjungan penulis ke Bukit Panguk Kediwung:
***
Berikut adalah kumpulan galeri foto beberapa kali kunjungan penulis ke Bukit Panguk Kediwung:
Di suatu pagi dengan genangan penuh kabut, sering dipilih beberapa pasangan untuk foto prewedding |
Spot-spot baru ditambah pengelola untuk menambah antusiasme pengunjung |
Sukaaa foto ini :* |
Duduk santai menunggu kemunculan matahari |
Di sekeliling kabut |
27 comments
Untuk dapet sunrise, aku sampe harus dua kali kesini
BalasHapusAku baru pertama kalinya langsung dapet yanng kaya gini mas :)
HapusYeayy Alhamdulillah
Selamat pagi, kok masih sendiri ke sananya? Gandengan mana? kakkakkakakakka
BalasHapusMas temamu kenapa ga berubah-berubah T.T
HapusEndingnya itu....amiin
BalasHapusAamiin mas, makasih :)
Hapusiya nih sekarang langit sudah tak bisa lagi ditentukan wujudnya. semaunya sendiri dia mengubah diri dari gelap ke terang atau sebaliknya. saat saat menantikan fajar atau senja haruslah benar diakali agar kita bisa menikmatinya dengan khusyu.
BalasHapusoh iya, bagiku pertemuan bukanlah obat dari kerinduan. karena dengan pertemuan itu justru menimbulkan kerinduan kerinduan yang lebih besar.
Mas, habis ngasih makan kucing kenapa kata-katamu jadi bisa beginii? Wkwk
HapusTetap kerinduan (sebenarnya) membutuhkan pertemuan tapii itu tentang kebijakan si perasa rindu aja mas mau bagaimana solusinya :)
Jadi inget nyunrise ke candi kesiangen :p
aku ke sini ramadhan lalu, dari rumah habis subuh ternyata sudah kesiangan sesampai di sana, hehe
BalasHapusSebelum subuh mas, terus subuhnya di sana atau subuh cari masjid sepanjang jalan.
HapusMantepp kalau pas apik :)
itu harus antre berapa lama XD
BalasHapusKalau datangnya pagi banget ga pake antre mas, langsung masuk gardu pandang :)
HapusJadi kalau mau ngajak sunrise mbak Dwi kudu janjian di Polsek sik? Ampun mbak, aku nggak mau ditangkap ama polisi >.<
BalasHapusLah iya ya jembatan cuma satu, beneran nggak antre lama buat nyelfi di situ? ^^
Wkwk iya mas, kamu ditilang lho nantiii ada operasi jomlo :p
HapusIyaa siapa cepat siapa lamaa yang lain antre nunggu.
Ada 5 gardu pandang mas, tapi itu yang kupilih letaknya paling pas berhadapan sama arah kemunculan matahari :)
Ayoo kapan menyunrise?
syahdu sekali Mba Dwi. Langitnya elok. Jadi sekarang suka banget yang ninggalin kita main sendiri. aku sampai lupa dgn warna langit baskara jogja .. pengen banget sunrisean lagi
BalasHapusMusimnya lagi entah kalau buat hunting sunrise nif.
HapusAku cuma sok mblayang sendiri mencari udara segar di pagi hari.
Bagaimana jika mengulang sunrisenya plaosan?
sunset e juga lagi masa cakep2 e lho Mba.
Hapusiya nih, aku pengen k plaosan, reza ne wes bosen e. kemarin padahal tak ajakin. uh. aku ngajak kamu oleh ra
Aku bacanya seolah-olah baca puisi mbak jadinya.
BalasHapusItu sunrisenya cantik sekalii ya.
Sekarang kayaknya dimana-mana kalau mau foto harus antri-antrian 😂😂
Puisi dalam artikel mbak :))
HapusSekarang tiap tempat di jogja selalu ramai, tiap satu spot aja yang ngantre udah bejibun. Jadiii melatih kesabaran wkwk
sunrisenya cakep
BalasHapusMakasih mbak :)
Hapusselain bisa liat jurang dari tepian , liat sunrise nya pun keren juga ya mbak
BalasHapusIya mas, silakan coba ke sini :)
HapusHoammmm kakakakkakak
BalasHapusMakasih banyak mas...
BalasHapusAyo hunting momen sunrise di sini :)
“Mbak, jam 03.30 WIB dari rumah ya, aku tunggu di polsek Imogiri” ---> aku bayangin kamu pakai rok menerobos dinginnya malam, sambil khusyuk ke depan karena jalanan yang masih gelap. Persis di tokoh-tokoh komik Jepang. Ahehe. Tangguh.
BalasHapusSuer aku ngiranya yang mau menyelimuti tadi cowok, eh, cewek... yang pergi ke rumah hantu itu ya?
Iya mas 3.30 biar nggak kelewatan kabutnya :p sepanjang jalan gelap gulita di tengah sawah-sawah g ada rumah penduduk.
HapusBukan mas, ini temenku yang biasanya. Yang ga males kuajak pagi-pagi menemui kabut